Untuk menonton profile CU Keling Kumang silahkan klik link berikut ini |
Munaldus berasal dari keluarga miskin di sebuah desa terpencil di Kalimantan Barat. Ayah dan ibunya
“buta huruf.” Mereka sembilan bersaudara. Empat laki-laki dan lima perempuan.
Yang laki-laki ditambah dengan si bungsu lulusan Universitas, empat yang
perempuan lainnya lulus SLTA.
Dia memberi kesaksian bagaimana perjuangan seorang anak miskin yang menderita dan kelaparan akhirnya menemukan jalan menuju kebebasan financial untuk dirinya, keluarga dan masyarakat Kalimantan Barat. Berikut adalah ringkasan dari kesaksiannya yang dipetik dari buku terbitan CU Keling Kumang yang berjudul Menjadi Kaya Karena Uang Bekerja Untuk Kita.
Penderitaan
Mengajarkan Ketekunan
Munaldus pernah ditolak oleh seorang pemilik rumah,
ketika orang tuanya hendak menitipkan anak ini untuk bersekolah di sebuah SMP
Negeri. Bahkan pemilik rumah tersebut sempat menghina. Akhirnya, hanya sempat
satu hari duduk di kelas 1 SMP Negeri, kemudian, pada hari kedua, ia pindah ke
sekolah swasta. Sungguh sebuah pengalaman yang tidak hanya pahit tetapi sungguh
berarti baginya.
Menjalani masa kecil dalam kehidupan yang serba
kekurangan. Sejak usia 7 tahun, ia sudah sangat pandai menoreh karet, membantu
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mengangkut air, mencari kayu api,
dan memberi makan ayam dan babi. Suatu hari kelak, anak ini sangat ingin
pensiun dari menoreh karet. Kenyataannya, ketika ia duduk di semester 5
perguruan tinggi cita-cita itu terwujud.
Banyak pengalaman masa lalu yang tidak dapat dilupakan
begitu saja ketika menyandang predikat sebagai “orang miskin.” Adalah suster
Norberta CP, seorang Italia, setiap akhir bulan menulis namanya di urutan
pertama di papan pengumuman asrama sebagai orang yang tidak diperkenankan makan
karena uang beras belum dibayar.
Hanya bermodalkan ketegaran dan cita-cita tinggi, ia
tetap bersekolah di pagi hari, kemudian setelah sekolah bubar ia pulang kampung
menempuh perjalanan enam jam terseok-seok karena perut kosong. Ia terpaksa
mencuri ubi dan memakannya mentah-mentah, karena hanya itulah satu-satunya
pilihan sepanjang perjalanan pulang kampung. Ia tetap tabah.
Sementara itu, suster Gemma CP, seorang suster Italia
pula, yang menaruh belas kasih kepada si pemuda ini. Ketika pemuda ini
menuturkan kesulitan yang dihadapinya, suster yang baik ini memberikan dorongan
yang sangat berarti. Maklum kala itu suster tersebut sebagai kepala
sekolahnya.
Pernah suatu hari ketika Munaldus pulang ke kampung untuk
meminta uang sekolah dan uang beras asrama. Kedua orang tuanya panic karena tak
memiliki uang. Ayahnya terpaksa menjual dua ekor kambing yang masih tersisa. Ia
bersama orang tuanya menyeret kambing tersebut kira-kita 11 kilometer jalan
kaki agar bisa mendapatkan uang guna membayar uang sekolahnya.
Suatu hari lain, seorang teman sekampungnya sekaligus
sekelas, yang keluarganya lebih berada, meminta diantar ke warung mie tiau. Dikira mau mentraktir, eh, si
pemuda itu makan sendiri. Sementara Munaldus harus menunggu di luar saja. Sang teman menyisakan sedikit mie tiau di mangkuk
dan memanggil dia masuk warung untuk menghabiskannya.
Alhasil, dengan merangkak setapak-demi setapak, sampai
juga si pemuda ini menamatkan SMP. Tapi, perjuangannya masih panjang.
Orang tuanya hanya bingung saja ketika Munaldus ingin
melanjutkan ke SMA, karena biaya sekolah didapat dari mana. Dengan modal tekad
dan uang seadanya, ia menuju kota kabupaten untuk melanjutkan ke SMA Negeri
satu-satunya di sana. Memilih SMA Negeri karena biaya sekolahnya dianggap
murah. Untunglah, ia punya seorang paman dan tante yang baik hati karena
bersedia menampung “si anak miskin ini.”
Kehidupannya Munaldus di SMA ternyata jauh lebih susah dari
yang dia bayangkan. Karena taka da uang untuk embayar kontrakan, dia tinggal di
pondok lading warga. Dua tahun hanya makan bubur nasi siang dan malam dan makan
singkong rebus.
Tiga pengalaman menarik selama bersekolah di SMA yang
tidak pernah dilupakan. Pertama, ia bersama dua temannya yang kebetulan sekelas
dan sama-sama miskin, tetapi berbeda sekolah, pernah menjadi pemborong menebas
lahan karet PTP. Jarak 30-an kilometer harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Hasilnya tidak seberapa, tetapi tenaganya habis terkuras. Dua temannya itu
dikemudian hari sama-sama pernah menjadi anggota DPRD mewakili
kabupatennya.
Pengalaman kedua. Ia pernah memborong mengangkut
berton-ton kotoran sapi untuk memupuk kebun lada seorang kepala penjara. Dia
rela menjadi kuli dan budak hanya untuk menamatkan sekolah SMA nya. Karena
bercita-cita tinggi, semua beban terasa ringan.
Suatu hari, di rumah beras tidak ada, makanan apapun
tidak ada. Tante nya dengan lembut mengatakan “kalian harus mencari cara agar
kita bisa punya beras esok pagi.” Bersama dua anak muda lain mereka bergegas
menuju suatu tempat dimana ada seorang bapak akan membangun kolam ikan. Bapak
itu orang Batak. Dengan nada Batak nya yang khas, ia bertanya “ada apa?” Mereka
menjawab: “saya sekolah di SMA, tidak ada beras lagi untuk makan, mau pulang
kampung jauh. Maukah bapak mempekerjakan kami sekedar untuk bertahan sampai
besok pagi?” Beliau bilang “kebetulan saya akan membangun kolam ikan. Kalian
angkut tanah untuk bikin bendungan kolam. Dua ribu rupiah per orang per sore.
Kalian mau?” Langsung saja dijawab “mau.” Mereka bekerja di sana
berminggu-minggu.
Selama bersekolah di SMA, pada waktu libur sekolah, Munaldus
pernah bekerja di pertambangan emas milik orang Tionghoa. Ia hanya ditugasi
menjaga buntut yang gajinya juga buntut. Karena tuntutan ingin lulus SMA,
apapun pekerjaan dijalankan.
Meskipun hidup miskin dan menderita, Munaldus tidak
pernah mencuri, mencopet, dan tindakan jahat lainnya karena dia dididik secara
Katolik yang ketat oleh orang tuanya. Banyak pekerjaan berat lainnya harus
dilaluinya agar dapat menamatkan SMA, seperti mendulang emas, menjual rokok di
pasar dan berburu babi hutan untuk menyambung hidup.
Anak Kampung Miskin
Bisa Sekolah ke Amerika
Walaupun di dera 1001 kesulitan sampai menamatkan SMA, Munaldus
tidak putus asa. Dia seorang pejuang yang gagah berani membebaskan diri dari
kemiskinan. Ia nekad meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi di kota
provinsi dengan bantuan lima belas ribu rupiah per bulan dari abangnya yang
sudah menjadi guru SMP dan lima ribu rupiah dari kakaknya.
Munaldus tinggal di asrama Dayak di kota provinsi,
Kalimantan Barat. Tidur beralaskan tikar sampai semester enam. Akhirnya, ia
hanya mampu membeli tilam bekas dari seniornya yang kebetulan keluar dari
asrama karena sudah sarjana.
Karena gigih, ulet dan cerdas, Munaldus
berhasil mendapatkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) di
perguruan tinggi sejak semester ketiga dan beasiswa TID (tunjangan ikatan
dinas) pada semester ke enam.
Untuk menyambung hidup ia mengajar di beberapa sekolah di
kota provinsi sejak semester tiga. Kemudian ia lulus dari perguruan tinggi,
jurusan pendidikan matematika dan lulus
hanya dalam waktu 4 tahun kurang 7 hari. Sebuah prestasi yang gemilang tentu
saja!
Sebagai penerima beasiswa tunjangan ikatan dinas, maka
setelah lulus perguruan tinggi ia langsung diterima menjadi dosen. Ia ditugasi
mengajar mata kuliah kimia. Kemudian ia sempat melanjutkan studi ke Departemen
Kimia ITB selama 1 tahun.
Munaldus kemudian mengikuti berbagai pelatihan kimia baik
di ITB, Unila, Lampung, dan USU, Medan. Kisah hidupnya kemudian berubah gara-gara mendapat tugas mengikuti short
course training (pelatihan jangka pendek) selama 3 bulan di Amerika Serikat di
tahun 1994. Karena prestasinya, profesor pembimbing di sana, Prof. Dr. Laurence
Stull merekomendasikan agar ia melanjutkan studi S-2 di Universitas yang sama.
Pada tahun 1995-1996, ia melanjutkan S-2 nya di Ohio State University (OSU),
Columbus, Ohio, Amerika Serikat dan mendapatkan gelar Master of Arts (disingkat
M.A).
Membangun Credit
Union untuk Kebebasan Finansial
Tak puas hanya menjadi seorang dosen, Munaldus lantas aktif membangun Credit Union (CU). Dia menjadi ketua credit
union yang saat ini sedang menduduki urutan ketiga terbesar di Indonesia.
Baginya, CU adalah salah satu kendaraan menuju dunia kebebasan finansial (bebas
dari masalah kesulitan keuangan) dan suatu tempat yang paling baik untuk
mengabdi. CU adalah alat untuk menghindar dari penyakit kebingungan (bingung
menyekolahkan anak, bingung berobat, bingung makan, bingung bikin rumah, dll).
Undangan untuk memfasilitasi penguatan credit union
datang dari berbagai penjuru, melebihi tugasnya sebagai dosen. Menyebarluaskan
gagasan credit union hingga ke seluruh Kalimantan, bahkan sampai ke kepulauan
Mentawai dan Papua bersama para senior dan teman-temanya.
Dia selalu ingat nasihat Robert T. Kiyosaki, yaitu bahwa
untuk mencapai kebebasan finansial syaratnya uanglah yang harus bekerja untuk kita
dalam bentuk pendapatan pasif. Pendapatan pasif adalah pendapatan yang terus
ada walaupun kita tidak bekerja lagi, sakit, atau bahkan meski seseorang sudah meninggal
dunia. Salah satu bentuknya adalah balas jasa simpanan di CU.
Munaldus juga menerapkan ajaran Brian Tracy, seorang ahli
keuangan, yaitu seseorang dikatakan kaya apabila pendapatan lebih besar dari
pengeluaran untuk membiayai gaya hidupnya. Tetapi, masih ada dua jenis
pendapatan yaitu pendapatan aktif dan pendapatan pasif. Pendapatan aktif adalah
pendapatan yang terus mengalir kalau kita masih bekerja. Jadi, kalau begitu
pendapatan mana yang menyebabkan kita kaya atau bebas finansial? “Tentu saja
pendapatan pasif,” tulis munal dalam buku
Menjadi Kaya Karena Uang Bekerja Untuk Kita
Karena ketekunannya ber-CU, Munaldus memasukan keempat
anaknya menjadi anggota CU sejak usia dini. Mengapa anak-anak perlu menjadi
anggota CU? Memasukan anak-anak sejak lahir menjadi anggota CU sama dengan
membayar uang sekolah ketika mereka belum bersekolah. Dengan CU mengandaikan bayarlah
uang sekolah anak sebelum anak-anak bersekolah.
Mengapa kebanyakan orang tua tidak mampu menyekolahkan
anak-anak mereka? Menurut Munaldus karena mereka membayar uang sekolah anak
ketika anak-anak mereka masuk sekolah.
“Jadi, mulai sekarang bayarlah uang sekolah anak-anak
kita sebelum anak-anak kita bersekolah. Kemana kita membayarnya? Tentu saja ke
CU,” kata dia.
Bagaimana cara sebuah keluarga membangun kebebasan
finansialnya? Munaldus mengajarkan ketiga tips berikut:
1) Menabunglah di CU minimal 10% dari
pendapatan hasil kerjanya agar terbangun pendapatan pasif.
2) Menabung dengan cara cepat dengan cara
meminjam di CU, lalu ditabungkan semua, tidak dibawa pulang. Orang CU
menyebutnya sebagai pinjaman kapitalisasi.
3) Melaksanakan pola hidup hemat dengan suatu
rencana keuangan keluarga. Sebagai orang CU, pentng mencatat semua pemasukan
dan pengeluaran keluarga.
Jika keluarga ini mempunyai pengeluaran (biaya) rata-rata
per bulan antara 4,5 juta – 5 juta. Maka agar pendapatan per bulan (pendapatan
dari balas jasa simpanan) mampu membiayai pengeluaran di atas, maka simpanan di
CU harus berjumlah setidaknya Rp. 410 juta.
Teladan Munaldus memberi kita pemahaman bahwa tidak ada prestasi
yang didapat dengan gratis. Tetapi harus dibayar dengan pengorbanan, displin
diri, komitmen yang kuat akan tujuan yang sudah ditetapkan, jujur, dan tanpa
menunda-nunda pekerjaan.